Tamuku... Sahabatku

Selamat datang kepada Anda semua…

Terima kasih, sudah berkenan mampir ke blog yang mencoba ‘bercerita’ ragam peristiwa yang saya lihat, dengar, atau saya alami dalam perjalanan hidup. Ada cerita senang, sedih, marah, benci, dan sakit, hingga tulisan yang mengungkap tentang cinta dan harapan, kepada sesama, dan Tuhan.

Eits, jangan lupa tulis nama, pesan, dan alamat BLog Anda ya…Insya Allah saya juga akan berkunjung ke’rumah’ Anda (asal alamat dan kode posnya jelas, he3 ;-) ).

Salam hangat

Jumat, 27 Januari 2012

contoh kasus pelanggarn kode etik psikologi

dibawah ini saya coba cantumkan pelanggaran kode etik yang terjadi dan pendapat saya bila dilihat juga dari buku pedoman kode etik indonesia , maaf klo masih ada kekurangan diberbagai lini, semoga bermanfaat

1. Kasus pelanggaran kode etik

Sumber : (intl.feedfury.com/.../47073298-contoh-kasus-pelanggaran-kode-etik psikologi.html)

Judul : Pendirian Praktik Psikologi tidak tecatat di HIMPSI (tanpa izin) dan melanggar ketentuan kode etik

Setelah menempuh pendidikan strata 1 dan 2 dalam bidang psikologi, seorang psikolog X kemudian membuka praktik psikologi dengan memasang plang di depan rumahnya. Dalam 1 tahun, Ia telah melakukan beberapa praktik antara lain mendiagnosis, memberikan konseling dan psikoterapi terhadap kliennya. Namun ketika memberikan hasil diagnosis, ia justru menggunakan istilah-istilah psikologi yang tidak mudah dimengerti oleh kliennya, sehingga sering terjadi miss communication terhadap beberapa klien tersebut. Hal lain sering pula terjadi saat ia memberikan prognosis kepada klien, seperti menganalisis gangguan syaraf yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter. Ia juga sering menceritakan masalah yang dialami klien sebelumnya kepada klien barunya dengan menyebutkan namanya saat memberikan konseling. Psikolog X tersebut terkadang juga menolak dalam memberikan jasa dengan alasan honor yang diterima lebih kecil dari biasanya.
Suatu saat, perusahaan Y membutuhkan karyawan baru untuk di tempatkan pada staf-staf tertentu dalam perusahaan. Pimpinan perusahaan Y kemudian memakai jasa Psikolog X untuk memberikan psikotes pada calon karyawan yang berkompeten dalam bidangnya. Namun, ketika memberikan psikotes tersebut, Psikolog X itu bertemu dengan si Z saudaranya dan Z meminta agar Psikolog X memberikan hasil psikotes yang baik supaya ia dapat diterima dalam perusahaan tersebut. Karena merasa tidak enak dengan saudaranya itu, Akhirnya psikolog X itu memberikan hasil psikotes yang memenuhi standart seleksi penerimaan calon karyawan, hingga Z tersebut kemudian diterima dalam perusahaan Y dengan menduduki kedudukan sebagai staff tertinggi.
Seiring berjalannya waktu, perusahaan Y justru sering kecewa terhadap cara kerja Z karena dianggap tidak berkompeten dalam bidangnya. hingga akhirnya Pimpinan perusahaan Y menyelidiki cara pemberian jasa Psikolog X, namun alangkah terkejutnya pimpinan tersebut ketika mengetahui bahwa Pendirian Praktik Psikolog X belum tercatat pada HIMPSI dan Psikolog X tersebut sama sekali belum pernah menjadi anggota HIMPSI.

· Menurut saya, dalam rekam kasus diatas psikolog X dapat dikatakan sebagai malpraktek Psikologi karena psikolog X melanggar kode etik pasal 4 ayat (3) mengenai penyalahgunaan di bidang psikologi, dimana pada pasal tersebut dikatakan bahwa “ pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang dirumuskan dalam kode etik psikologi Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh psikolog terhadap janji/sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh mereka yang bukan psikolog, atau psikolog yang tidak memiliki ijin praktek, serta layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam kode etik Indonesia…….”. Namun bila saya telaah lebih dalam lagi maka ada beberapa pelanggaran yang dapat dikenakan pasal lebih mendetail, yaitu sebagai berikut :

§ Psikolog X berhasil menyelesaikan strata 1 hingga 2 dan telah memiliki tempat praktek psikologi namun ijinya tidak tercantum di HIMPSI, hal ini dapat dikatakan melanggar kode etik seperti halnya tercantum dalam BAB 1 Pedoman Umum pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “…….., DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI”.

§ Dalam kasus diatas rupanya psikolog X juga menangani hal-hal diluar kompetensinya (menangani gangguan syaraf yang biasanya di tangani oleh dokter), bila kondisinya hanya sebagai partner kerja dari dokter maka bukan masalah, namun apabila ini tidak ada kaitannya sebagai bahan pertimbangan dokter, maka hal ini juga dapat dikatakan sebagai pelanggaran kode etik karena sesuai dengan BAB III pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai “ilmuwan psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan/atau intervensi social dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu yang dipertanggungjawabkan”.

§ Kesalahan fatal yang dilakukan oleh seorang psikolog adalah bila salah melakukan diagnosis, hal ini karena klien yang terlanjur percaya dengan psikolog akan menganggap benar seluruh hal yang disampaikan oleh psikolog dan berpendapat seluruh anjuran yang disampaikan psikolog adalah pemecahan yang terbaik. Seperti halnya contoh kasus diatas yang menceritakan bahwa psikolog X sering melakukan kesalahan saat prognosis, dan sering terjadi miss communication karena ternyata psikolog X menggunakan bahasa dan istilah awam yang kurang dapat dipahami oleh masyarakat luas sehingga ini menyalahi kode etik pada BAB I pasal 2 prinsip C (1) yang menyatakan bahwa “ Psikolog dan/atau ilmuwan psikolog harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk layanan psikologi, penelitian, pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas.

§ Dalam kasus diatas, dikatakan bahwa Psikolog X juga sering menceritakan kasus ataupun problem klien sebelumnya dengan disertai nama klien itu, hal ini tentu akan manjadi sebuah pelanggaran bila penyebutan itu tanpa seijin dari klien yang dijadikan obyek pembicaraan. Sehingga seperti yang disebutkan pada BAB V kerahasiaan rekam dan hasil pemeriksaan psikologi pasal 25 mendiskusikan batasan kerahasiaan data kepada pengguna layanan psikologi ayat (2) lingkup orang pada bagian (b) dikatakan “ keterangan atau data yang diperoleh dapat diberitahukan kepada orang lain atas persetujuan pemakai layanan psikologi atau penasehat hukumnya”.

§ Pada kasus diatas, juga disajikan info bahwa psikolog X memberikan hasil psikotes yang baik kepada Z yang tidak lain adalah familinya agar diterima diperusahaan Z yang sedang memakai jasa pelayanan psikologinya. Jelas-jelas ini melanggar kode etik psikologi, seperti yang tercantum dalam BAB IV pasal 13 mengenai sikap professional pada ayat (1) yang berbunyi “ psikolog dan/atau ilmuwan psikologi dalam memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta kewajiban untuk : a). mengutamakan dasar-dasar professional, b). memberikan layanan pada semua pihak yang membutuhkannya, c). melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya, d). mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut, d). dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena dampak negative yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi yang dilakukan oleh psikolog dan/atau ilmuwan psikologi maka pemakai layanan psikologi tersebut harus diberi tahu”.

Dengan pasal-pasal yang dilanggar oleh psikolog X seperti yang telah dijabarkan diatas maka psikolog X dapat ditindak sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya oleh Majelis HIMPSI yang berwenang, karena perbuatannya secara pasti dan meyakinkan telah melanggar ketentuan Kode Etik Psikologi Indonesia.

· Menurut saya, ada beberapa solusi dan penanganan yang dapat dilakukan untuk mencegah hal seperti diatas, yaitu :

§ Kode Etik Psikologi on-Air : Selama ini pelanggaran kode etik sering dilakukan tanpa disadari. banyak hal-hal yang sebenarnya dapat dicegah melalui peran serta masyarakat sendiri. Jika masyarakat menyadari bahwa dalam pelayanan psikologi diperlukan professionalisme dan layanan berlandaskan etika keprofessian psikolog, maka masyarakat dapat secara aktif menolak dan memilih layanan yang tepat. dengan demikia maka berbagai kemungkinan pelanggaran dapat diminimalkan. Kode etik psikologi on-air atau kode etik goes to mass media merupakan sebuah tawaran program yang cerdas dalam mencerdaskan masyarakat dalam menghadapi berbagai kemungkianan pelanggaran dalam kode etik psikologi. Program ini akan meminta peran serta dan kerjasama pihak-pihak media massa dalam melakukan diskusi, menyiarkan, dan mepublikasikan hal-hal yang terkait pelaksanaan pelayanan psikologi sesuai etika keilmuan dan keprofesian. Melalui program ini, diharapkan akan dapat terjalin kerjasama antara pihak media massa, kalangan psikologi, dan masyarakat dalam menerapkan layanan psikologi yang lebih baik kedepannya.

§ Masukan bagi HIMPSI : sebaiknya HIMPSI lebih luas melakukan pengawasan pada psikolog ataupun ilmuwan psikolog karena Kebutuhan akan layanan-layanan psikologi makin meningkat akhir-akhir ini. Semakin banyak sektor kehidupan yang membutuhkan pendekatan dan layanan psikologi. Mulai dari layanan psikologi untuk individu dengan gangguan jiwa hingga merambah ke sektor publik yang lebih luas. Saat ini, bukan hal yang asing lagi jika di beberapa instansi seperti rumah sakit, instansi pemerintahan, industri, dan berbagai sektor lainnya membutuhkan layanan dari seorang psikolog. Kebutuhan akan layanan psikolog ini semakin hari semakin meningkat. Sepertinya masyarakat Indonesia di berbagai bidang sudah mulai sadar akan pentingnya mempertimbangkan faktor-faktor psikologis dalam mengambil keputusan. Tidak hanya itu, jasa seorang Psikolog Sosial dibutuhkan dan digunakan oleh beberapa praktisi politik. Psikolog dijadikan sebagai konsultan politik yang saran-saran dan kritiknya dipertimbangkan dalam menentukan berbagai kebijakan politik. Akan tetapi, Terdapat hal yang sebenarnya sangat disayangkan yaitu ditengah-tengah meningkatnya kesadaran kebutuhan peran psikolog diberbagai sektor, tidak dibarengi dengan jumlah lulusan psikolog yang unggul setiap tahunnya. Artinya terjadi kekurangan dalam jumlah kuantitas dan kualitas psikolog yang layak untuk dapat memberikan layanan-layanan psikologi yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Sepertihalnya hukum ekonomi terjadi peningkatan kebutuhan layanan psikologi oleh psikolog yang berkompeten akan tetapi jasa yang sesuai dengan kualifikasi psikolog terbatas untuk diakses. Permintaan meningkat sementara ketersediaan terbatas. Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat dua dorongan kebutuhan disini. Dorongan dari pihak yang membutuhkan jasa psikolog dan orang-orang atau pihak tertentu yang melihat adanya peluang untuk dapat mengeruk keuntungan dari kebutuhan tersebut. Terjadilah pelanggaran kode etik psikologi dan malpraktek oleh pihak-pihak yang tidak berkompetensi di bidang layanan psikologi. Berbagai contoh pelanggaran yang kemudian muncul di masyarakat. Di antara bentuk pelanggaran tersebut terdapat pelanggaran dalam pegadministrasian tes psikologi oleh pihak selain psikolog, dibukanya layanan-layanan bimbingan psikotes, diperjual-belikannya alat-alat tes psikologi oleh pihak yang tidak memiliki kualifikasi psikolog, bahkan dibukanya pusat layanan psikologi oleh pihak yang tidak berhak. Padahal untuk dapat membuka dan memberikan layanan-layanan psikologi seperti tes psikologi, terapi, diagnosa gangguan dan lain-lain tidak begitu saja langsung dapat diberikan oleh pihak tertentu. Jasa psikolog adalah pengabdian, pengabdian kepada ummat manusia dan pengabdian kepada kemanusiaan. Pemberian layanan-layanan psikologi tidak begitu saja diberikan. Diperlukan proses yang tidak singkat dan mudah untuk dapat menyandang gelar sebagai seorang psikolog. Bahkan ketika telah menyandang gelar resmi sebagai seorang psikolog tidak begitu saja langsung dapat memberikan layanan psikologi, akan tetapi terlebih dahulu diproses secara resmi oleh lembaga resmi psikologi Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Merupakan hal yang sangat wajar jika memerlukan proses pendidikan yang cukup lama dan proses yang ketat untuk dapat menyandang gelar sebagai seorang psikolog dan berhak mengaplikasikan layanannyan, hal tersebut disebabkan karena tanggungjawab kemanusiaan yang dipegang oleh seorang psikolog. Seorang psikolog yang keliru dalam memberikan diagnosis kepada seseorang dapat berakibat fatal, diantaranya kelirunya pemberian pelayanan, penilaian sosial yang keliru, serta dapat saja treatment (perlakuan) yang diberikan keliru pula.

1 komentar: